Plato Foundation

Organisasi Masyarakat Berbasis Keagamaan di Jawa Timur Melakukan Pencegahan Perkawinan Anak

Facebook
WhatsApp
Twitter

Yayasan PLATO bekerjasama dengan Kementerian PPPA Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak (PHA) dalam program SWK III  menyelenggarakan kegiatan “Bimbingan Teknis Pencegahan Perkawinan Anak bagi Organisasi Masyarakat Berbasis Keagamaan di Jawa Timur” pada 11-112 September 2024 di Azana Styles Hotel Madura. Kegiatan ini dihadiri 28 peserta dari Lembaga Pendidikan, Pesantren, organisasi perempuan di bawah naungan NU dan Muhamadiyah serta tokoh agama / tokoh masyarakat, khususnya di Madura Raya.

“Tujuan kegiatan ini adalah untuk membangun kesepahaman peserta mengenai pentingnya mencegah terjadinya perkawinan anak dengan memperkuat strategi pencegahan perkawinan anak berbasis masyarakat, khususnya di Madura Raya” Jelas Choliq Al Muchlis saat menyampaikan laporan ketua pantia.

Perkawinan anak menjadi masalah serius yang berdampak luas pada kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan anak. Berdasarkan data SUSENAS yang diselenggarakan oleh BPS proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau hidup bersama sebelum umur 18 tahun di Indonesia pada tahun 2023 sebesar 6.92. Provinsi Jawa Timur berada di atas angka nasional yaitu sebesar 8.86. “Gambaran Perkawinan anak pada 3 tahun terakhir di Jawa Timur mengalami penurunan tapi kurang signifikan” disampaikan oleh Dr. Tri Wahyu Liswati, M.Pd Kepala DP3AK Provinsi Jawa Timur di awal kegiatan.

Plt. Asdep PHA atas Pengasuhan dan Lingkungan (PHAPL) Suhaeni, S.Sos dalam sambutannya mengajak semua pihak untuk berfikir dan memberikan ide-ide untuk mencegah perkawinan anak melalui program strategis. “Upaya pencegahan perkawinan anak harus ditingkatkan sehingga target SDGs pada tahun 2030 tercapai” Imbuh Suhaeni saat membuka kegiatan.

“Data perkawinan anak sekarang merupakan produk perkawinan sebelumnya, lihatlah pendidikan bapak ibu anak yang meminta dispensasi nikah. Tugas kita masih panjang, pencegahan perkawinan anak tahun ini akan terlihat di generasi berikutnya” jelas Kepala Dinas DP3A Pamekasan Munapik S.Ag.,M.Pdi

Tim Layanan Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu Rohika Kurniadi Sari, SH, Msi memberikan paparan tentang kebijakan pencegahan perkawinan anak untuk penguatan keluarga Indonesia. Beliau menyampaikan bahwa Indonesia memiliki Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA).

“Penanganan pencegahan perkawinan anak HARUS mengedepankan pendekatan yang holistik, komprehensif, dan terpadu” imbuhnya.

Selanjutnya adalah pembahasan tentang “Perkawinan Anak dalam Hukum Islam” oleh H. Mawardi, M.HI dari Kemenag Kab. Pamekasan. Beliau menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara hukum positif pencegahan perkawinan anak dengan hukum syariat Islam. “Pernikahan bukan hanya terkait sah atau tidak sah, mampu atau tidak mampu, dari haram menjadi halal tapi pernikahan awal penentuan nasib bangsa, maka bisa kita bayangkan ketika awal pernikahan ini dari pernikahan yang tidak siap seperti apa nasib bangsa kedepannya. Kita sepakat bahwa kita berkomitmen untuk bersama sama melakukan pendewasaan usia nikah, menuju nusantara maju, Indonesia maju” pesan Mawardi,M.HI

Sesi malam dilanjutkan dengan pembahasan “Hak Anak atas Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Dampak Psikologis Perkawinan Anak dalam Pengasuhan” yang di fasilitasi Dita Amalia S.Sos.,M.Psi. Beliau menyamakan persepsi peserta bahwa perkawinan anak merupakan sebuah masalah yang harus diatasi. “Perkawinan anak menimbulkan dampak psikologis negatif, dan ketika anak-anak yang menikah itu memiliki anak tentu akan mempengaruhi kualitas pengasuhan” jelas Dita Amalia.

Kegiatan di lanjutkan dengan membongkar “Perkawinan Anak dari Sudut Pandang Praktek Sosio Budaya” yang difasilitasi oleh Dr. Dwi Astutiek, S.Ag., M.Si. dari Universitas Sunan Giri Surabaya. ”Tidak ada manusia yang terbebas dari sosial dan budaya, termasuk masalah perkawinan anak ini juga tidak terlepas dari pengaruh sosial dan budaya” Jelas beliau. Sesi ini, Beliau menggulas pengaruh sosial budaya di Madura Raya yang mempengaruhi perkawinan anak seperti : Persepsi lebih baik jadi janda dari pada tidak laku, budaya sangkal, nikah ngodheh dan lain sebagainya.

Di hari kedua lebih fokus untuk klarifikasi dan pemetaan peran tokoh agama dan tokoh masyarakat yang difasilitasi oleh Nanang A. Chanan. Peserta dibagi ke 4 kelompok untuk berdiskusi kemudian melakukan presentasi. Didapati kuatnya pengaruh tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam mempengaruhi pendewasaan usia nikah di Madura Raya. Sebagai contoh seorang kyai dapat mendukung dengan menyatakan tidak akan hadir di pernikahan santrinya yang menikah di usia anak dan hanya datang pada anak santri yg nikah di usia 19 tahun ke atas.

“Perencanaan perlu partisipatif dan berangkat dari bawah. Masing masing daerah punya kondisi lokal yang berbeda beda. Regulasi yang ada di tingkat nasional perlu disusun peraturan daerah dan diterjemahkan ke peraturan desa sehingga masing-masing wilayah mempunyai dasar hukum yang kuat” Salah satu rekomendasi dari peserta, Zainul Hasan perwakilan PCNU Sumenep.

“Minimal hasil kegiatan ini bisa diterapkan pada diri sendiri, keluarga sendiri dan lembaga sendiri”  pesan Suhaeni saat penutupan.

Kegiatan diakhiri dengan foto bersama dan pengambilan vidio pernyataan berkomitmen dan berjuang untuk stop anak melahirkan anak, stop kebodohan melahirkan kebodohan dan stop kemiskinan melahirkan kemiskinan.